Raja-Raja Dari Kerajaan Hindu Buddha Di Indonesia
Contoh Peninggalan Kesusastraan Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Sriwijaya
Candi Muara Takus dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya yang berarti “kemenangan”.
Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.
George Cœdès memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat.
Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya antara lain:
Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Hal itu membuktikan bahwa selama masa Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha berkembang sangat pesat. Selain itu, I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.
Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di Sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan Buddha yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.
Masa-masa awal Kerajaan Kadiri atau Panjalu tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu dan pusatnya di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).
Ilustrasi foto Sri Jayabhaya.
Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
Kerajaan Sriwijaya
Candi Muara Takus dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarawan menganggapnya sebagai salah satu peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, tetapi kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri yang berarti “bercahaya” dan vijaya yang berarti “kemenangan”.
Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.
George Cœdès memperkenalkan kembali Sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Sejak saat itu, Kerajaan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat.
Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya antara lain:
Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha.
Hal itu membuktikan bahwa selama masa Kerajaan Sriwijaya, agama Buddha berkembang sangat pesat. Selain itu, I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Buddhisme di Sriwijaya selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.
Pesatnya perkembangan agama Buddha di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti. Nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di Sriwijaya. Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan Buddha yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1.000 pendeta yang belajar Buddhisme di Sriwijaya.
Masa-masa awal Kerajaan Kadiri atau Panjalu tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua putra Airlangga.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu dan pusatnya di kota baru, yaitu Daha. Adapun putranya yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala dan pusatnya di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu dan pusatnya di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178). Nama “Kediri” atau “Kadiri” sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau Morinda citrifolia (mengkudu).
Ilustrasi foto Sri Jayabhaya.
Ketika diperintah oleh Sri Jayabhaya, Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Jayabhaya juga dipercaya menulis ramalan dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Ramalan ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun-temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama Serat Ramalan Jayabaya dapat dilihat di Kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tetapi bait pertama kitab tersebut yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran agama Siwa dan sedikit yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan lain dari kerajaan ini adalah Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.
Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Namun demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang untuk dapat mencapai pelepasan.
Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai “Siwa-Buddha”, bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Sinkretisme era Majapahit mencapai puncaknya pada 1292–1478. Sepertinya, saat itu aliran Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama.
Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan digambarkan sebagai “Harihara”, yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Berdasarkan Kitab Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular, diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan di patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa.
Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa.
Selanjutnya, dalam Kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika dia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat di dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.
Selain itu, raja kedua Majapahit, Jayabaya, juga didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan kenyataan tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, tampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468–1478) dan runtuh pada tahun 1478, berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
Nah, itulah informasi mengenai Kerajaan Hindu Buddha Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.
Kerajaan Hindu Buddha di Indonesia – Hindu-Buddha menjadi salah satu agama yang berkembang pesat di Nusantara pada masa lampau. Pengaruh agama Hindu mencapai Nusantara diperkirakan sejak abad ke-1. Perkembangan pesat agama Hindu diikuti dengan berdirinya banyak kerajaan bercorak Hindu saat itu. Beberapa kerajaan yang berdiri sekitar abad ke-4, yaitu Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, Kerajaan Kalingga di Pantai Utara Jawa Tengah, dan Kerajaan Bedahulu di Gianyar.
Adapun kerajaan Hindu kuno di Nusantara yang menonjol adalah Kerajaan Medang karena dikenal membangun Candi Prambanan. Sejak itulah, agama Hindu kemudian menyebar bersama dengan Buddhisme di seluruh Nusantara dan mencapai puncak pengaruhnya pada abad ke-14.
Agama Buddha di sisi lain pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari Tiongkok bernama Fa Hsien. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada 600 sampai 1377.
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat melalui catatan seorang sarjana dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara, serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana.
Berikut penjelasan dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Nusantara dan memiliki pengaruh besar pada masa kejayaannya.
Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan yang ditinggalkan tersebut kebanyakan beraliran agama Siwa dan sedikit yang bersifat agama Buddha, yaitu lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung. Peninggalan lain dari kerajaan ini adalah Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan Sutasoma.
Candi Jabung merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Namun demikian, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447.
Pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa), terdapat dua pejabat resmi keagamaan tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman Majapahit, ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana, yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang ditahbiskan, serta Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagi seseorang untuk dapat mencapai pelepasan.
Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai “Siwa-Buddha”, bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Sinkretisme era Majapahit mencapai puncaknya pada 1292–1478. Sepertinya, saat itu aliran Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama.
Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan digambarkan sebagai “Harihara”, yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Berdasarkan Kitab Kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular, diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan di patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa.
Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa.
Selanjutnya, dalam Kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika dia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat di dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.
Selain itu, raja kedua Majapahit, Jayabaya, juga didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan kenyataan tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, tampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468–1478) dan runtuh pada tahun 1478, berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
Nah, itulah informasi mengenai Kerajaan Hindu Buddha Tersohor di Indonesia. Sejarah Nusantara pada era Kerajaan Hindu-Buddha berkembang karena hubungan dagang wilayah Nusantara dengan negara-negara dari luar, seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat prasejarah Nusantara yang sebelumnya memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme beralih memeluk agama Hindu dan Buddha.
Bobo.id - Apa saja contoh peninggalan Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dalam bidang kesusastraan?
Pertanyaan tersebut tercantum dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII SMP Kurikulum Merdeka Belajar.
Ada beragam jenis peninggalan Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, di antaranya candi, arca, prasasti, hingga kitab atau kakawin.
Dalam bidang kesusastraan, bentuk peninggalan Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia adalah kitab atau kakawin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kakawin adalah jenis puisi Jawa Kuno. Umumnya kakawin ini berisi puisi atau tembang yang terdiri dari beberapa bait.
Kakawin dikarang oleh seorang tokoh dari macam-macam kerajaan yang berkembang pada saat masuknya agama Hindu dan Buddha.
Kakawin termasuk jenis karya sastra kuno yang bersifat terikat oleh rima, irama, guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan.
Nah, untuk menjawab pertanyaan pada awal artikel tadi, simak penjelasan berikut ini bersama Bobo, yuk!
Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan. Peninggalan-peninggalan itu memperlihatkan jika Tarumanagara merupakan kerajaan Hindu aliran Waisnawa.
Kata tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara, sedangkan taruma berasal dari kata “tarum” yang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat, yaitu Ci Tarum. Temuan arkeologis yang berada di muara Ci Tarum adalah percandian yang luas, yaitu Percandian Batujaya dan Percandian Cibuaya, yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Tarumanagara.
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
Salah satu prasasti yang dijadikan sebagai sumber sejarah keberadaan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Ciaruteun. Lokasi prasasti tersebut berada di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Prasasti ini ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Bogor pada 1863 dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta terdiri atas empat baris puisi India atau irama anustubh (irama yang ditemukan dalam puisi Veda dan Sanskerta klasik), serta Prasasti Ciaruteun B yang berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya.
Menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat di prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.
Alih aksara dari prasasti ini sebaagai berikut.
Baris pertama: vikkrantasya vanipateh
Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah
Baris ketiga: tarumanagarendrasya
Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||
Artinya adalah sebagai berikut.
“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.
Berdasarkan pesan yang terdapat di Prasasti Ciaruteun, dapat diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa saat itu terdapat Kerajaan Tarumanagara, yang dipimpin oleh Raja Purnawarman yang memuja Dewa Wisnu.
Kerajaan Tarumanagara telah dipengaruhi oleh kebudayaan India, yang dibuktikan dengan nama raja yang berakhiran -warman dan tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Pada 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula. Barulah pada 1981, prasasti ini dilindungi.
Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Tiongkok, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Tiongkok) dalam bentuk buku dengan judul Fa-Kuo-Chi, yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M banyak orang brahmana dan animisme di Ye-Po-Ti (sebutan untuk Javadwipa, tetapi ada pendapat lain yang menyatakan jika Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung).
Pada 414, Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah Kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara) dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan pada 528 dan 535.
Berita Dinasti Tang selanjutnya menuliskan bahwa utusan To-lo-mo telah datang pada 666 dan 669. Berdasarkan berita-berita tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400–600, yang saat itu dipimpin oleh Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.
Adapun raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanagara antara lain:
Catatan awal Kerajaan Medang ada dalam prasasti Canggal (732), yang ditemukan di dalam kompleks Candi Gunung Wukir di Dusun Canggal, barat daya Kabupaten Magelang. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dan menggunakan aksara Pallawa. Isinya menceritakan tentang pendirian Siwalingga (lambang Siwa) di daerah Kuñjarakuñjadeça (Kunjarakunja), yang terletak di pulau bernama Yawadwipa (Jawa) yang diberkahi dengan banyak beras dan emas.
Pembentukan lingga berada di bawah perintah Sanjaya. Prasasti ini menceritakan bahwa di Yawadwipa dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Setelah mangkatnya Sanna negara berkabung, jatuh dalam perpecahan. Pengganti Sanna adalah putra Sannaha (saudara perempuannya) yang bernama Sanjaya. Sanjaya menaklukkan daerah-daerah di sekitar kerajaannya dan pemerintahannya yang bijak memberkati tanahnya dengan kedamaian dan kemakmuran bagi semua rakyatnya.
Kisah Sanna, Sannaha, dan Sanjaya juga dijelaskan dalam Carita Parahyangan, sebuah naskah yang disusun sekitar akhir abad ke-16. Secara garis besar, kisah dari naskah Carita Parahyangan memiliki kesamaan tokoh dengan Prasasti Canggal.
Meskipun manuskrip itu tampaknya didramatisasi dan tidak memberikan perincian tertentu tentang periode tersebut, tetapi nama dan tema cerita yang hampir persis dengan Prasasti Canggal tampaknya menegaskan bahwa manuskrip tersebut didasarkan atas peristiwa sejarah.
Periode pemerintahan Rakai Panangkaran ke Dyah Balitung (rentang antara 760–910) yang berlangsung selama 150 tahun, menjadi penanda puncak kejayaan dari peradaban Jawa kuno. Pada periode ini marak munculnya seni dan arsitektur Jawa kuno, seperti sejumlah candi dan monumen megah didirikan membentang cakrawala dataran Kedu dan dataran Kewu. Candi yang paling terkenal adalah Candi Sewu dan Prambanan.
Kitab Smaradahana
Kitab Smaradahana yang ditulis oleh Mpu Darmaja menceritakan tentang sepasang suami istri, Smara dan Rati, yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa.
Baca Juga: Materi IPS, Sebutkan 4 Macam Perbedaan Antara Candi Hindu dan Candi Budha!
Kitab Lubdhaka ditulis oleh Mpu Tanakung dari Kerajaan Kediri. Kitab menceritakan Lubdhaka yang memuja Dewa Syiwa.
Kitab Writasanjaya
Kitab Writasanjaya merupakan karangan Mpu Tanakung, yang isinya berupa puisi petunjuk cara membuat syair yang baik.
Kerajaan Singhasari
Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singhasari.
Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari adalah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja ketika pertama kali didirikan tahun 1222.
Pada 1253, Raja Wisnuwardhana awalnya mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel.
Inilah yang membuat Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Berdasarkan keterangan di Pararaton, Tumapel awalnya hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Panjalu. Adapun yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Dia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.
Pada 1254, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Kadiri, dengan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di Desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, tetapi tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255 kemudian menyebutkan jika pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kerajaan Kadiri.
Kitab Sumanasantaka
Kitab Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna pada masa Sri Jayawarsa (1104-1115). Kitab berisi 1.100 bait.
Kitab Hariwangsa digubah oleh Mpu Panuluh pada masa kekuasaan Raja Jayabaya. Kitab ini menceritakan Prabu Kresna yang menikah dengan Dewi Rukmini.